Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Dunia Islam
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat islam
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu
filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik
Islam.[8]
Pusat-pusat ilmu pengetahuan purbakala yang ada di Yunani dan
Alexandria, dan sebelumnya Mesir serta Babylonia maupun Persia, jatuh ke
tangan kaum muslimin. Kota-kota seperti Antioch, Harran dan Jundishapur
menjadi bagian dari Dar Al-Islam. Menjelang berakhirnya bani Umayyah
dan permulaan periode bani Abbasiyah, penerjemahan bahasa-bahasa
purbakala mulai dilakukan ke dalam bahasa Arab dengan bantuan
orang-orang terpelajar dari berbagai pusat tersebut. Proses penerjemahan
memakan waktu hampir 150 hingga 200 tahun yang berhasil menerjemahkan
sebagian besar filsafat dan ilmu pengetahuan purbakala ke dalam bahasa
Arab dan untuk waktu 700 tahun berikutnya, bahasa Arab menjadi bahasa
ilmu pengetahuan yang paling penting di seluruh dunia.[9]
Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam
belahan Timur yang berpusat di Bagdad. Pada masa Harun ar-Rasyid
(170-193 H/786-809 M) lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles
dan Persia. Kemudian pada masa Al-Makmun, penerjemahan lebih aktif lagi
dan disertai dengan pengiriman tim-tim ahli ke Negara tetangga, seperti
Cyrus dan Romawi untuk mendapatkan buku-buku filsafat. Pada giliran
berikutnya, muncul para filsuf muslim yang terkenal, kemudian menulis
berbagai buku dalam memperkaya khazanah keilmuan ini dalam berbagai
cabangnya, seperti kedokteran, logika astronomi dan lainnya. Mereka
diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina.[10]
Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Syalabi dan Louis Ma’luf
menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak
diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah
pertama (132-232 H/750-847). Ilmu ditransfer ke dunia Islam melalui
penerjemahan dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di
daerah-daerah Laut Putih seperti; Iskandariah, Anthakiah dan Harran.
Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada
kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M dan
mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantiun yang
beribukota di Konstantinopel. Dari kota ini, buku-buku filsafat
diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan
penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya.
Para Cendekiawan ketika itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai
bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk
melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.[11]
Tentu saja, aktifitas para filsuf muslim di atas bersentuhan dengan
penafsiran al-Qur’an. Bahkan kecenderungan menafsirkan al-Qur’an secara
filosofis besar sekali. Al-Kindi misalnya yang dikenal sebagai Bapak
Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami al-Qur’an dengan benar
isinya harus ditafsirkan secara rasional bahkan filosofis. Al-Kindi
berpendapat bahwa al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia
untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang
lebih dalam dibalik terbit tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya
bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan
seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun
berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa tujuan
dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat
benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama
pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia
dan menunjukan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah sebabnya, Nurkholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal
tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh
dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung
unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.[12]
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam
berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia
Yunani, seperti yang disebutkan, baik oleh Ahmad Fuad Al-Ahwani maupun
Nurkholis Madjid yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di
dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam
teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang
Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah
ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria dan itu berarti bahwa
masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang
Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap
sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali
mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonisme di dalamnya. Ini menyebabkan
sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling
berpengaruh terhadap filsafat Islam itu karena memang terkait satu sama
lainnya.[13]
Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas
Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul
dengan jelas dalam berbagai paham tasauf. Ibnu Sina misalnya dapat
dikatakan sebagai seorang Neo-Platonis disebabkan ajarannya tentang
mistik perjalanan rohani menuju Tuhan seperti dimuat dalam kitabnya, Isharat. Memang,
Neoplatonisme yang spritualis itu banyak mendapatkan jalan masuk ke
dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling menonjol adalah yang ada dalam
ajaran sekelompok orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar
Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum muslim banyak
memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme)
Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran
Aristoteles ini-yang populernya ilmu mantiq-di kalangan umat Islam.
Akan tetapi, mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy
Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim
berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu
mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang
dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuah.
Mereka juga banyak mencurahkan banyak tenaga untuk kehidupan sesudah
mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali
dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para filsuf muslim juga
membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi
di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme),
asal usul penciptaan dan seterusnya, yang semuanya itu merupakan bagian
integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam
Hellenisme.[14]
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat
akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam pelurusan
berpikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara
teologis dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara azali telah ada
maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya
sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah SWT.
Dalam kaitan dengan penggunaan akal sebagaimana dalam teologi, tidak
heran kalau kaum Mu’tazilah memberikan prioritas rasional pada cara
pandang Yunani dalam melihat Al-Qur’an. Di sinilah sumbangan besar
Mu’tazilah sebagai sebuah philosofhy of kalam dalam kehidupan
intelektual Islam. Mereka merupakan peletak dasar disiplin keilmuan
teologi spekulatif atau teologi filsafati. Mereka pun memberikan
penghormatan besar pada penggunaan akal, meskipun tetap dalam jalur yang
sangat konsisten dengan Al-Qur’an. Pemikiran-pemikiran teologi rasional
Mu’tazilah inilah yang nantinya memberikan lahan subur untuk
berkembangnya filsafat Islam yang kelak akan merenungkan visinya
berdasarkan paham-paham filsafat Yunani yang kemudian diselaraskan
dengan Al-Qur’an.[15]
Ringkasnya dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan
filsafat Yunani secara doktrinal memiliki hubungan bahwa Islam memiliki
ajaran untuk mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali
pemikiran yang benar. Begitu pula dalam filsafat Yunani, akal menjadi
pusat pemikiran yang begitu bebas, sementara dalam filasafat Islam
diberikan kelonggaran meskipun terdapat keketatan dalam penggunaan
rasio.
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa
pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof
Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan filosof Yunani lainnya.
Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang datang kemudian. Kedatangan para filosof
Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada
filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang
berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru
tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa
filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles,
sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu
menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat
Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan
India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu
pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya
dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan
persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan
teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes,
ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia
Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana
yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga
pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan.
Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil
membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan
masyarakat Islam itu sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar