MENGAPA KITA HARUS BERFILSAFAT ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti
“Mengapa seseorang perlu berfilsafat?” atau “Untuk apa seseorang berfilsafat?”.
Pertanyaan mendasarnya, “Mengapa (manusia) berfilsafat ?
Cara terpenting untuk memahami apa
itu filsafat tidak lain adalah dengan berfilsafat. Berfilsafat, artinya
menyelidiki suatu permasalahan dengan menerapkan argumen-argumen yang
filosofis. Yang dimaksud dengan argumen-argumen yang filosofis adalah
argumen-argumen yang memiliki sifat-sifat: deskriptif, kritis atau analitis,
evaluatif atau normatif, spekulatif, rasional, sistematis, mendalam, mendasar,
dan menyeluruh. Dengan perkataan lain, berfilsafat berarti: mempertanyakan
dasar dan asal-usul dari segala-galanya, mencari orientasi dasar bagi kehidupan
manusia.
Dalam rangka berfilsafat itu, ada
empat sikap batin yang diperlukan:
1.
Keberanian untuk menguji secara
kritis hal-hal yang kita yakini.
2.
Kesediaan untuk mengajukan
hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap suatu pernyataan
filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita pada saat itu.
3.
Tekad untuk menempatkan upaya
mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kekecewaan karena
“kalah” dalam perdebatan.
4.
Kemampuan untuk memisahkan kepribadian
seseorang dari materi diskusi, agar tidak menyebabkan kekaburan berpikir atau
konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses diskusi filsafat.
Pokok pertanyaan kita adalah,
“Mengapa (kita) berfilsafat?” atau “Untuk apa (kita) berfilsafat?” Salah satu
jawaban yang terkesan spekulatif namun paling mungkin adalah, “Karena pada
suatu saat kita secara tidak sadar kita sudah bergelut dengan suatu
permasalahan filsafat, yang dengan sendirinya jadi bahan pemikiran kita.”
Meskipun kita tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, ada masalah-masalah
filsafat yang mau tak mau menarik perhatian kita. Masalah persisnya tentu
berbeda dari orang ke orang. Kita mungkin akan terserap dalam suatu pembahasan
filsafat walaupun persoalan yang dibahas kelihatannya sama sekali tidak
“filosofis”. Entah kita seorang mahasiswa filsafat atau bukan, kita dapat saja
terbawa ke arah pemikiran filsafat. Ringkasnya, setiap orang pasti menyimpan
asumsi-asumsi atau keyakinan-keyakinan filsafat. Dengan demikian, pertanyaannya
bukan lagi haruskah kita menangani permasalahan filsafat, melainkan
bagaimanakah caranya.
Salah satu alasan mengapa seorang
berfilsafat adalah karena memang dalam diri filsafat itu sendiri mengandung
suatu tugas. Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu kebebasan
berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban
dengan kebenaran yang dikandung oleh penampilan realitas. Sementara, tidak
semua bentuk berpikir dalam filsafat harus terus-menerus dijamin oleh
kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh tahap-tahap pikiran menuju kebenaran,
sedangkan kesaksian terhadap kesungguhan dan kejujuran ini tidak bisa
diterapkan oleh orang lain kecuali oleh nurani filsuf yang bersangkutan.
Daya tarik filsafat seringkali
membuat kita lebih peka terhadap hal-hal yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Di bawah ini, di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula
berkembangnya persoalan besar filsafat.
Rangsangan untuk mulai berfilsafat
seringkali muncul ketika orang berhadapan dengan sebuah pernyataan yang
dirasanya sebagai keliru. Misalnya, kita pasti akan terusik ketika mendengar
pernyataan sembrono semacam ini: “Orang tidak harus bertanggungjawab atas
perbuatannya.”
Mereka yang tidak menaruh minat pada
teori-teori filsafat bisa saja tertarik pada satu dua permasalahan filsafat
tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat biasanya adalah mengamati beberapa
contoh penting permasalahan filsafat. Teori-teori filsafat, yang seringkali
kompleks dan tak jarang rumusannya aneh-aneh itu, kiranya tidak akan menarik
minat sebelum seseorang tahu bagaimana teori-teori tersebut sebenarnya menjawab
permasalahan filsafat yang dihadapinya. Percuma memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan.
Sama seperti kaum profesional
lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam bahasa khusus menurut
spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik suatu teori. Tidak
jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-masalah yang
lain lagi. Namun, tidak peduli sekompleks dan seberat apapun, teori-teori
tersebut pada dasarnya adalah tanggapan terhadap masalah-masalah biasa seni,
moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat. Di pinggiran-pinggiran
wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal yang tersembunyi;
mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian itu tersimpan
masalah-masalah yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk ke dalam suatu
kajian filsafat secara umum.
Untuk memberi gambaran, mari kita
lihat bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran
filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan
dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut:
- Seorang komisaris daerah, ketika harus menentukan peraturan baru mengenai pembatasan wilayah, mulai bertanya-tanya, apakah akibat ataukah maksud (ataukah keduanya) yang menyebabkan peraturan itu diskriminatif.
- Seorang kepala perpajakan, ketika harus menentukan organisasi-organisasi religius mana saja yang harus dibebaskan dari pajak, terpaksa harus merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “religius” dan apa “kelompok religius”.
- Seorang ibu, yang bertekad untuk “mempertobatkan” anaknya yang komunis, terpaksa harus membaca Comunist Mainfesto dan belajar mengenai ideologi Marx dan kapitalis.
Daftar itu masih bisa kita tambahi
dengan sekian banyak contoh lain. Yang jelas, kita sudah dapat melihat bahwa
ketika dihadapkan dengan suatu persoalan yang relevan, bahkan orang yang bukan
filsuf pun sangat mungkin tergiring ke dalam suatu pemikiran filsafat. Jika
orang yang bukan filsuf itu tetap tidak dapat melihat pentingnya tujuan bidang
filsafat, cobalah mengajukan suatu permasalahan filsafat yang secara khusus
berkaitan dengan minat atau kepentingannya. Ketika ia menguji
kemungkinan-kemungkinan jawaban atas permasalahannya, mungkin ia akan menemukan
kecenderungan atau kertertarikan pada suatu tesis filsafat tertentu.
Kita mungkin baru sadar bahwa diri
kita sudah ada di dalam filsafat dan terlibat dalam persoalan-persoalannya,
tidak hanya berdiri di luar dan menunggu sampai diyakinkan bahwa kita harus
terlibat di dalamnya. Bolehlah dikatakan bahwa kodrat berfilsafat telah ada di
dalam diri setiap manusia, karena lingkungan dan bahkan kita sendiri
sesungguhnya telah menyimpan permasalahan-permasalahan filsafat. Kita dapati di
sini sebagian dari kebenaran pernyataan bahwa “Semua orang memang filsuf”.
Namun harus dicatat juga bahwa sedikit sekali orang yang berfilsafat secara
sistematis. Karena disadari bahwa untuk itu diandaikan suatu sikap ilmiah yang
baru diperoleh setelah studi bertahun-tahun.
Demikian Magnis, “Kalau berfilsafat
disamakan dengan berkhayal saja, dengan berpikir berputar-putar tanpa tertib,
kalau filsafat dipakai sebagai pentil untuk mengelamun, saya kira filsafat
semacam itu tidak kita perlukan. Biarpun laku dalam masyarakat, biarpun dapat
barangkali kita jual kepada orang awam sebagai ‘kebijaksanaan’, sebenarnya kita
mengibulkan masyarakat dengan itu. Kita akan menjadi tukang candu sebagaimana
dituduhkan Marx kepada agama.”
Manfaat Berfilsafat
Bagi banyak orang, pertanyaan “Untuk
apa berfilsafat?” menyiratkan suatu kepentingan praktis, yaitu “Apa manfaat
filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?” Ada sebuah
jawaban yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis
dalam filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem
nilai yang kita miliki dan bagaimana kita memandang dunia secara umum. Penelaahan
filsafat yang efektif, sekali lagi, bersifat luas, mendalam, dan kritis.
Relevansi kritis dari penelaahan semacam itu tidak dapat dipungkiri.
Singkatnya, dengan melakukan telaah filsafat, kita akan semakin mandiri secara
intelektual, lebih toleran terhadap perbedan sudut pandang.
Lebih lanjut, seandainya saja kita
melihat bahwa diri kita merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, barangkali
kita tidak akan terlalu bernafsu menguasai dan menaklukkannya, dan kita pun
mungkin tidak akan terlalu menderita akibat tindakan perusakan alam.
Ringkasnya, berfilsafat – mengkaji
permasalahan filsafat secara serius – memberikan manfaat pribadi dalam dua
cara. Pertama, pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan
nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah
kehidupan pribadi maupun profesinya. Kedua, pengkajian filsafat dapat
membuahkan kebebasan dari dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan
yang berbeda, serta kemandirian intelektual.Namun, sudah disinggung sebelumnya,
tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat pasti akan menghasilkan buah-buah
itu. Tentu ada hal-hal lain yang juga dapat mengembangkan toleransi,
kemandirian intelektual, ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang.
Filsafat hanyalah salah satu alternatif terbaik.
Mungkin, beberapa dari kita ada yang
mempertanyakan apa sebenarnya manfaat praktis yang “nyata” dari mempelajari
filsafat, taruhlah dalam soal mencari pekerjaan? Memang, gelar sarjana dalam
bidang filsafat tidak akan mempersiapkan kita untuk suatu pekerjaan tertentu,
selain mempersiapkan kita untuk studi tingkat pasca-sarjana atau mengajar. Lain
halnya dengan bidang-bidang studi lain yang lebih teknis sifatnya. Kelebihan
filsafat adalah bahwa ia memperlengkapi kita untuk berbagai bidang
non-akademis, dan dalam banyak hal dapat membantu kita mengembangkan diri dalam
karier yang kita pilih.
Ringkasnya, mengkaji permasalah
filsafat secara serius memberikan manfaat pribadi dalam dua cara. Pertama,
pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-niali
dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan pribadi
maupun profesinya. Kedua, pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari
dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, serta
kemandirian intelektual. Namun, sudah disinggung di atas, tidak ada jaminan
bahwa pengkajian filsafat pasti akan menghasilkan buah-buah itu. Tentu ada
hal-hal lain yang juga dapat mengembangkan toleransi, kemandiran intelektual
ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang. Filsafat hanyalah salah
satu alternatif terbaik.
Fungsi Berfilsafat
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani
pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis
ilmu-ilmu spesial. Jadi berfilsafat membantu untuk mendalami
pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas (filsafat teoretis)
dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya
dari dua jalur: secara sistematis dan secara historis. Pertama, secara
sistematis. Artinya, filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani
masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan,
baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab dan keadilan, dan sebagainya. Oleh
karenanya, orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil
bertanggungjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar