HAKIKAT MANUSIA MENURUT PANDANGAN
ISLAM DAN BARAT
Oleh : Baedotun Nupus Atulkhariyah
Abstract
This article describes the nature of human beings, their
characteristics, their potentials, and the development of the potentials. Some
philosophers claim that a human being is considered animal for having some
tendencies that are believed similar to an animal. However, this argument is
contradictive to what is believed by Muslim. Humans have certain
characteristics that naturally different from animals. They also posses
potentials (innate potentials or innate tendencies) that can be develop
naturally through life-experience or artificially through formal instruction
such as schools and other educational institutions.
Abstrak
Tulisan ini mencoba menggambarkan hakikat manusia, ciri-cirinya,
potensi dan pengembangan potensi yang dimilikinya. Beberapa ahli filsafat
mengklaim bahwa manusia itu dianggap mempunyai kecenderungan yang diyakini sama
dengan seekor binatang. Namun, pendapat tersebut bertolak belakang dengan apa
yang dipercayai oleh seorang muslim. Manusia memiliki sifat-sifat tertentu yang
secara alamiahnya berbeda dengan binatang.Mereka memiliki potensi (potensi dari
dalam atau kecenderungan dari dalam) yang dapat dikembangkan melalui pengalaman
hidup atau melalui pengajaran secara formal seperti sekolah dan lembaga
pendidikan lainnya.
Kata Kunci: hakikat manusia, karakteristik manusia, pengembangan
potensi manusia
PENDAHULUAN
Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia
secara penuh, dilakukan oleh
manusia, antar manusia, dan untuk manusia. Dengan demikian berbicara tentang
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Banyak pendapat tentang pendidikan yang
dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa pendidikan itu
diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi
manusia ke arah yang positif. Melalui pendidikan,manusia diharapkan mampu
meningkatkan dan mengembangkan seluruh potensi pemberian Tuhan kepadanya
sehingga menjadi manusia yang lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi.
Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan harus terarah, sehingga hasilnya berupa
pengembangan potensi manusia, yang nantinya dapat berdaya guna dan berhasil
guna dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan itu
diperlukan pemahaman yang tepat, utuh, dan komprehensif tentang hakikat
manusia. Berbicara tentang hakikat manusia, akan mengarahkan kita kepada
pertanyaan penting dan mendasar tentang manusia, yaitu apakah manusia itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita melihat beberapa
definisi tentang manusia. Beberapa ahli filsafat, Socrates misalnya, menyebut
manusia sebagai Zoon politicon atau
hewan yang bermasyarakat, dan Max Scheller menyebutnya sebagai Das Kranke Tier
atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah.
Ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu
filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu,
sehingga terdapat banyak rumusan atau pengertian tentang manusia. Selain yang
telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia
adalah sebagai berikut:
1.
Homo sapiens atau
makhluk yang mempunyai budi.
2.
Homo faber atau Tool making animal yaitu binatang yang
pandai membuat bentuk peralatan dari
bahan alam untuk kebuTuhan hidupnya.
3.
Homo economicus atau
makhluk ekonomi.
4.
Homo religious yaitu
makhluk beragama.
5.
Homo laquen atau makhluk
yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang tersusun.
Di samping itu
masih ada ungkapan lain tentang definisi manusia, di antaranya, manusia
sebagai: animal rationale (hewan yang
rasional atau berpikir), animal symbolicum (hewan yang
menggunakan symbol)dan animal educandum
(hewan yang bisa dididik). Tiga
istilah terakhir ini menggunakan kata animal
atau hewan dalam menjelaskan manusia. Hal ini mengakibatkan banyak orang
terutama dari kalangan Islam tidak sependapat dengan ide tersebut. Dalam Islam
hewan dan manusia adalah dua makhluk yang sangat berbeda. Manusia diciptakan
Allah sebagai makhluk sempurna dengan berbagai potensi yang tidak diberikan
kepada hewan, seperti potensi akal dan potensi agama. Jadi jelas bagaimanapun
keadaannya, manusia tidak pernah sama dengan hewan.
Munir Mursyi seorang ahli pendidikan Mesir mengatakan bahwa
pendapat tentang manusia sebagai animal
rationale atau al-Insan Hayawan
al-Natiq bersumber dari filsafat Yunani dan bukan dari ajaran Islam.
Terkait dengan hal ini adalah gagalnya teori evolusi Charles Darwin. Ternyata
Darwin tak pernah bisa menjelaskan dan membuktikan mata rantai yang
dikatakannya terputus (the missing link) dalam proses transformasi
primata menjadi manusia. Jadi pada hakikatnya manusia tidak pernah berasal
dari hewan manapun, tetapi makhluk sempurna ciptaan Allah dengan berbagai
potensinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (QS:95:4).
Muhammad Daud Ali (1998) menyatakan pendapat yang bisa dikatakan
mendukung bantahan Munir Mursyi di atas, namun ia menyatakan bahwa manusia bisa
menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang diberikan
Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal), kalbu, jiwa, raga
serta panca indra. Dalil al- Qur’an yang diajukannya adalah surah al-A’raf: “… mereka (manusia) punya hati tapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah), mereka punya mata tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga tapi tidak dipergunakan untuk
(mendengar ayat-ayat Allah). Mereka itu sama dengan binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang yang lalai.” (QS:7:179).
Dengan demikian bisa disimpulkan
bahwa manusia memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk terbaik dengan berbagai
potensi yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Namun apabila manusia
tidak bisa mengembangkan potensinya tersebut bisa saja manusia menjadi lebih
rendah dari makhluk lain, seperti hewan misalnya.
Selain membahas tentang definisi manusia, tulisan ini juga
menelaah tentang hakikat manusia dalam berbagai pandangan dan pendapat, karakteristik
manusia atau wujud hakikat manusia, pertumbuhan, perkembangan manusia,
potensi-potensi manusia serta pengembangan potensi manusia dan kesimpulan.
Tulisan ini berusaha untuk mengulas
potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan pada diri manusia yang apabila
dikembangkan potensi-potensi tersebut akan dapat mengantarkan manusia menuju
derajat makhluk yang sempurna, hal inilah yang menjadikan manusia sebagai
makhluk yang istimewa dihadapan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
PEMBAHASAN
Dalam bagian ini dibahas teori-teori yang berkaitan dengan
beberapa pandangan terkait hakikat manusia meliputi beberapa pandangan yang
sedikit banyaknya memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa sebenarnya
yang dimaksud dengan hakikat manusia, potensi-potensi manusia, usaha-usaha yang
dapat dilakukan dalam upaya pengembangan potensi-potensi manusia tersebut.
Hakikat Manusia
Manusia adalah keyword
yang harus dipahami terlebih dahulu bila kita ingin memahami pendidikan. Untuk
itu perlu kiranya melihat secara lebih rinci tentang beberapa pandangan
mengenai hakikat manusia:
1. Pandangan Psikoanalitik
Dalam pandangan psikoanalitik diyakini
bahwa pada hakikatnya manusia digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam
dirinya yang bersifat instingtif. Hal ini menyebabkan tingkah laku seorang
manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang ada dalam
diri manusia. Terkait hal ini diri manusia tidak memegang kendali atau tidak
menentukan atas nasibnya seseorang tapi tingkah laku seseorang itu semata-mata
diarahkan untuk mememuaskan kebuTuhan dan insting biologisnya.
2. Pandangan Humanistik
Para humanis menyatakan bahwa manusia
memiliki dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya
mencapai tujuan yang positif. Mereka menganggap manusia itu rasional dan dapat
menentukan nasibnya sendiri. Hal ini membuat manusia itu terus berubah dan
berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih sempurna. Manusia
dapat pula menjadi anggota kelompok masyarakat dengan tingkah laku yang baik.
Mereka juga mengatakan selain adanya dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam
hidupnya juga digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan keinginan
mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai makhluk individu
dan juga sebagai makhluk sosial.
3. Pandangan Martin Buber
Martin Buber mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa
disebut ‘ini’ atau ‘itu’. Menurutnya manusia adalah sebuah eksistensi atau
keberadaan yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun
keterbatasan ini hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang akan
dilakukannya tidak dapat diprediksi. Dalam pandangan ini manusia berpotensi
utuk menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’, tergantung kecenderungan mana yang lebih
besar dalam diri manusia. Hal ini memungkinkan manusia yang ‘baik’
kadang-kadang juga melakukan ‘kesalahan’.
4. Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai
makhluk yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari
luar dirinya, yaitu lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor dominan yang
mengikat hubungan individu. Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar,
seperti adanya teori conditioning
atau teori pembiasaan dan keteladanan. Mereka juga meyakini bahwa baik dan
buruk itu adalah karena pengaruh lingkungan.
Dari uraian di atas bisa diambil beberapa kesimpulan yaitu;
a.
Manusia pada dasarnya memiliki tenaga
dalam yang dapat menggerakkan hidupnya.
b.
Dalam diri manusia ada fungsi yang bersifat
rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial
individu.
c.
Manusia pada hakikatnya dalam proses
‘menjadi’, dan terus berkembang.
d.
Manusia mampu mengarahkan dirinya ke
tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengendalikan dirinya dan mampu
menentukan nasibnya sendiri.
e.
Dalam dinamika kehidupan individu selalu
melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang
lain, dan membuat dunia menjadi lebih baik.
f.
Manusia merupakan suatu keberadaan yang
berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan. Namun potensi itu
bersifat terbatas.
g.
Manusia adalah makhluk Tuhan, yang yang
kemungkinan menjadi ‘baik’ atau’buruk’.
h.
Lingkungan adalah penentu tingkah laku
manusia dan tingkah laku itu merupakan kemampuan yang dipelajari.
Beberapa pendapat lain tentang hakikat manusia adalah:
1. Pandangan Mekanistik
Dalam pandangan mekanistik semua benda yang ada di dunia ini
termasuk makhluk hidup dipandang sebagai sebagai mesin, dan semua proses
termasuk proses psikologi pada akhirnya dapat diredusir menjadi proses fisik
dan kimiawi. Lock dan Hume, berdasarkan asumsi ini memandang manusia sebagai
robot yang pasif yang digerakkan oleh daya dari luar dirinya. Menurut penulis
pendapat ini seperti menafikan keberadaan potensi diri manusia sehingga manusia
hanya bisa diaktivasi oleh kekuatan yang ada dari luar dirinya.
2. Pandangan Organismik
Pandangan organismik menganggap manusia sebagai suatu
keseluruhan (gestalt), yang lebih dari pada hanya penjumlahan dari
bagian-bagian. Dalam pandangan ini dunia dianggap sebagai sistem yang hidup
seperti halnya tumbuhan dan binatang. Organismik menyatakan bahwa pada
hakikatnya manusia bersifat aktif, keuTuhan yang terorganisasi dan selalu
berubah. Manusia menjadi sesuatu karena hasil dari apa yang dilakukannya
sendiri, karena hasil mempelajari. Menurut penulis pandangan ini mengakui
adanya kemampuan aktualisasi diri manusia melalui pengembangan potensi-potensi
yang telah ada pada diri manusia.
3. Pandangan Kontekstual
Dalam pandangan kontekstual manusia hanya dapat dipahami dalam
konteksnya. Manusia tidak independent, melainkan merupakan bagian dari
lingkungannya. Manusia adalah individu yang aktif dan organisme sosial. Untuk
bisa memahami manusia maka pandangan ini megharuskan mengenal perkembangan
manusia secara utuh seperti memperhatihan gejala-gejala fisik, psikis, dan juga
lingkungannya, serta peristiwa-peristiwa budaya dan historis.
Manusia Menurut Pandangan Islam.
Ada beberapa dimensi manusia dalam pandangan Islam, yaitu:
1. Manusia Sebagai Hamba Allah (Abd
Allah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada
Allah selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak
disekutukan.9 Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak
terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan
keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam
surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah Aku.”
(QS51:56).
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia
yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya
mengharapkan ridha Allah.
2. Manusia Sebagai al-
Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep
al- nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan
lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang
makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang
diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’, “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada
keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta
satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat
dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorng
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia
di antara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49:13).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk
sosial, yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian
dari lingkungan soisal dan masyarakatnya.
3. Manusia Sebagai khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam
surah al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah
ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2: 30), dan
surah Shad ayat 26,“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (peguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”
(QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah
itu merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia
diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang
harus dipertanggungjawabkan.10 Sebagai khalifah di bumi manusia
mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan
hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. seperti
dijelaskan dalam surah al- Jumu’ah, “Maka
apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu
bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62: 10), selanjutnya dalam surah
Al-Baqarah disebutkan: “Makan dan
minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS:
2 : 60).
4. Manusia Sebagai Bani
Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai
keterangan dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam
dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan
oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada
nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan
persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal
dari keturunan yang sama. Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia
kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan
harus diperlakukan dengan sama. Dalam surah al- A’raf dijelaskan:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak
Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
5. Manusia Sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi
yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara
(QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu
(QS:6:4-5), dan lain-lain. Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia
sebagai al- insan juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa).
Misalnya dijelaskan dalam surah Hud: “Dan
jika Kami rasakan kepada manusia suatu
rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus
asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: 11:9).
6. Manusia Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis
manusia terdiri atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh
kasar (ragawi). Dengan kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara
umum terikat kepada kaedah umum makhluk biologis seperti berkembang biak,
mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan untuk
hidup, dan pada akhirnya mengalami kematian. Dalam al- Qur’an surah al-Mu’minūn dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu
air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging
itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka
Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS: 23: 12-14).
Wujud Hakikat Manusia (Karakteristik
Manusia)
Beberapa wujud hakikat manusia yang dijelaskan di bawah ini akan
memberikan gambaran yang jelas bahwa manusia berbeda dengan hewan. Wujud sifat
hakikat manusia ini merupakan karakteristik yang hanya dimiliki oleh manusia.
Faham eksistensialisme mengemukakan bahwa karakteristik manusia tersebut
seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan dan membenahi arah dan
tujuan pendidikan. Umar Tirta Raharja dan La Sulo mengatakan di antara wujud
sifat hakikat manusia adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan Menyadari Diri
Melalui
kemampuan ini manusia betul-betul mampu menyadari bahwa dirinya memiliki ciri
yang khas atau karakteristi diri. Kemampuan ini membuat manusia bisa
beradaptasi dengan lingkungannya baik itu limgkungan berupa individu lainnya
selain dirinya, maupun lingkungan nonpribadi atau benda. Kemampuan ini juga
membuat manusia mampu mengeksplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya
melalui pendidikan untuk mencapai kesempurnaan diri. Kemampuan menyadari diri
ini pula yang membuat manusia mampu mengembangkan aspek sosialitas di luar
dirinya sekaligus pengembangan aspek individualitas di dalam dirinya.
2. Kemampuan
Bereksistensi
Melalui kemampuan ini manusia menyadari bahwa dirinya memang ada
dan eksis dengan sebenarnya. Dalam hal ini manusia punya kebebasan dalam ke
‘beradaan’ nya. Berbeda dengan hewan di kandang atau tumbuhan di kebun yang
‘ada’ tapi tidak menyadari ‘keberadaan’ nya sehingga mereka menjadi onderdil
dari lingkungannya. Sementara itu manusia mampu menjadi manajer bagi
lingkungannya. Kemampuan ini juga perlu dibina melalui pendidikan. Manusia
perlu diajarkan belajar dari pengalaman hidupnya, agar mampu mengatasi masalah
dalam hidupnya dan siap menyambut masa depannya.
3. Pemilikan Kata Hati (Conscience
of Man)
Yang dimaksud dengan kata hati di sini adalah hati nurani. Kata
hati akan melahirkan kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Orang
yang memiliki hati nurani yang tajam akan memiliki kecerdasan akal budi
sehingga mampu membuat keputusan yang benar atau yang salah. Kecerdasan hati
nurani inipun bisa dilatih melalui pendidikan sehingga hati yang tumpul menjadi
tajam. Hal ini penting karena kata hati merupakan petunjuk bagi moral dan
perbuatan.
4. Moral dan Aturan
Moral sering juga disebut etika, yang merupakan perbuatan yang
merupakan wujud dari kata hati. Namun, untuk mewujudkan kata hati dengan
perbuatan dibutuhkan kemauan. Artinya tidak selalu orang yang punya kata hati
yang baik atau kecerdasan akal juga memiliki moral atau keberanian berbuat.
Maka seseorang akan bisa disebut memiliki moral yang baik atau tinggi apabila
ia mampu mewujudkanya dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai
moral tersebut.
5. Kemampuan Bertanggung Jawab
Karakteristik
manusia yang lainnya adalah memiliki rasa tanggung jawab, baik itu tanggung
jawab kepada Tuhan, masyarakat ataupu pada dirinya sendiri. Tanggung jawab
kepada diri sendiri terkait dengan pelaksanaan kata hati. Tanggung jawab kepada
masyarakat terkait dengan norma- norma sosial, dan
tanggung jawab kepada Tuhan berkaitan erat dengan penegakan
norma-norma agama. Dengan kata lain kata hati merupakan tuntunan, moral
melakukan perbuatan,dan tanggung jawab adalah kemauan dan kesediaan menanggung
segala akibat dari perbuatan yang telah dilakukan.
6. Rasa Kebebasan (Kemerdekaan)
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah rasa bebas yang harus
sesuai dengan kodrat manusia. Artinya ada aturan-aturan yang tetap mengikat,
sehingga kebebasan ini tidak mengusik rasa kebebasan manusia lainnya. Manusia
bebas berbuat selama perbuatan itu tetap sesuai denga kata hati yang baik
maupun moral atau etika. Kebebasan yang melanggar aturan akan berhadapan dengan
tanggung jawab dan sanksi-sanksi yang mengikutinya yang pada akhirnya justru
tidak memberikan kebebasan bagi manusia.
7. Kesediaan Melaksanakan
Kewajiban dan Menyadari Hak
Idealnya ada hak ada kewajiban. Hak baru
dapat diperoleh setelah pemenuhan kewajiban, bukan sebaliknya. Pada kenyataanya
hak dianggap sebagai sebuah kesenangan, sementara kewajiban dianggap sebagi
beban. Padahal manusia baru bisa mempunyai rasa
kebebasan apabila ia telah melaksanakan kewajibannya dengan baik dan
mendapatkan haknya secara adil. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari
hak ini haru dilate melalui proses pendidikan disiplin. Sebagaimana dikutip
oleh Umar dan La Sulo, Selo Soemarjan menyatakan bahwa perlu ditanamkan empat
macam pendidikan disiplin untuk membentuk karakter yang memahami kewajiban dan
memahami hak-haknya. 1) disiplin rasional yang bila dilanggar akan melahirkan
rasa bersalah. 2) disiplin sosial, yang bila dilanggar akam menyebabkan rasa
malu. 3) disiplin afektif, yang bila dilanggar akan melahirkan rasa gelisah dan
4) disiplin agama, yang bila dilanggar akan menimbulkan rasa bersalah dan
berdosa.
8. Kemampuan Menghayati
Kebahagian
Kebahagian bisa diartikan sebagai kumpulan dari rasa gembira,
senang, nikmat yang dialami oleh manusia. Secara umum orang berpendapat bahwa
kebahagiaan itu lebih pada rasa bukan pikiran. Padahal tidak selamanya
demikian, karena selain perasaan, aspek-aspek kepribadian lainnya akal pikiran
juga mempengaruhi kebahagian seseorang. Misalnya, orang yang sedang mengalami
stress tidak akan dapat menghayati kebahagian secara utuh. Dari contoh ini
jelas, bahwa kemampuan menghayati kebahagiaan dipengaruhi juga oleh aspek nalar
di samping aspek rasa. Untuk mendapatkan kebahagiaan seseorang harus berusaha.
Usaha-usaha tersebut harus berlandaskan norma-norma atau kaidah-kaidah yang
ada. Namun usaha-usaha yang dilakukan itu akan terkait erat dengan takdir
Tuhan. Sehingga rasa menerima dan syukur akan mempengaruhi kemampuan manusia
dalam menghayati kebahagian. Dalam hal ini, pendidikan agama menjadi modal
utama untuk dapat menghayati kebahagian.
Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Di kalangan masyarakat awam, bahkan di antara sebagian ilmuan
menyatakan tidak ada perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan. Namun
kelompok ilmuan lainnya membedakan kedua istilah ini dengan sangat teliti dan
rinci. Monk, F.J, misalnya, menyatakan bahwa, “Pertumbuhan secara khusus
dimaksudkan untuk menjelaskan ukuran-ukuran badan dan fungsi-fungsi fisik
sedangkan perkembangan lebih mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai
gejala-gejala psikologis yang tampak.” Sementara itu Soegarda mengatakan bahwa
pertumbuhan merupakan suatu proses yang menunjukkan perubahan jasmaniyah secara
otomatis, sedang perkembangan, adalah suatu proses dalam pertumbuhan yang
menunjukkan adanya pengaruh dalam yang menyebabkan bertambahnya kualitas dalam
pertumbuhan.Jadi bisa dikatakan bahwa dalam pertumbuhan terjadi perubahan pada
fisik, namun dalam perkembangan terjadi perubahan psikis baik karena pengaruh
internal maupun pengaruh eksternal.
Perkembangan (Development)
Reni Hawadi seperti dikutip Desmita
mengatakan bahwa pekembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses
perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas
kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Dalam hal ini tercakup juga konsep
usia, yang diawali dari saat konsepsi dan berakhir dengan kematian. Melengkapi
pendapat di atas Seiffert and Hoffnung dalam Desmita menjelaskan bahwa definisi
perkembangan adalah “long-term changes in a person’s growth, feelings,
pattern of thinking, social relationship, motor skills.”
Merujuk pada pendapat di atas penulis
menyimpulkan bahwa perkembangan manusia diawali dari proses pembuahan sampai
manusia itu mati (decay process).
Selama masa itu manusia mengalami perubahan-perubahan yang progressif dan berkelanjutan, dari fungsi jasmani dan rohani
menuju tahap pematangan dan belajar. Dalam hal ini Mustaqiem mengatakan
perubahan tersebut meliputi penguasaan syaraf dan otot, kecakapan memahami
sesuatu, pemilikan nila-nilai dan inhibisi (kemampuan mengendalikan diri).
Pertumbuhan (Growth)
Pertumbuhan adalah suatu pertambahan atau kenaikan dalam ukuran
pada bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Menurut
A. E. Sinolungan seperti dikutip Desmita menyatakan bahwa pertumbuhan menunjuk
pada perubahan kuantitatif, yaitu yang dapat dihitung atau diukur, seperti
tinggi atau berat badan. Sementara itu Ahmad Thontowi menyebutkan pertumbuhan
sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat dari adanya perbanyakan (multiplication) sel-sel.
Dari beberapa definisi di atas bisa disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pertumbuhan adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh
atau raga seperti penambahan berat dan tinggi badan, pertumbuhan fungsi
jantung, paru-paru dan lainnya. Pertumbuhan badan mengalami peningkatan,
menetap dan selanjutnya sesuai dengan bertambahnya umur seseorang menurun
kembali. Misalnya dari merangkak, seorang bayi kemudian bisa berjalan, dan pada
masa tuanya kembali hanya mampu merangkak.
Potensi Manusia
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah
yang paling potensial. Artinya potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia
sangatlah lengkap dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan
dirinya melalui potensi-potensi (innate
potentials atau innate tendencies) tersebut. Secara fisik manusia terus
tumbuh, secara mental manusia terus berkembang, mengalami kematangan dan
perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi yang diberikan Allah kepada
manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan kepada manusia itu
sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas kadar dan kemampuannya
sebagai manusia. Karena jika tidak demikian, menurut Hasan Langgulung, maka
manusia akan mengaku dirinya Tuhan.
Jalaluddin mengatakan bahwa ada empat potensi yang utama yang
merupakan fitrah dari Allah kepada manusia.
Potensi Naluriah (Emosional) atau
Hidayat al- Ghariziyyat
Potensi naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal
dari dalam diri manusia. Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau fitrah
yang diperoleh manusia tanpa melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut
juga potensi instingtif, dan potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan
manusia dan kematangan perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting
untuk kelangsungan hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri
dengan lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan
diri. Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah, dan mempertahankan
diri dari berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan
akan perlindungan seprti senjata, rumah dan sebagainya. Yang ketiga adalah
dorongan untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual.
Dengan dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari generasi ke
generasi.
Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al- Hasiyyat
Potensi fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau
indra-indra yang dimiliki manusia seperti indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, peraba dan perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang
sudah siap pakai hidung, telinga, mata, lidah, kulit, otak dan sisten saraf
manusia. Pada dasarnya potensi fisik ini digunakan manusia untuh mengetahui
hal-hal yang ada di luar diri mereka, seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk
ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa dikatkan poetensi merupakan alat bantu atau media
bagi manusia untuk mengenal hal-hal di luar dirinya. Potensi fisikal dan
emosional ini terdapat juga pada binatang.
Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al- Aqliyat
Potensi akal atau intelektual hanya
diberikan Allah kepada manusia sehingga potensi inilah yang benar-benar membuat
manusia menjadi makhluk sempurna dan membedakannya dengan binatang. Jalaluddin
mengatakan bahwa: “potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami
simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan, maupun membuat
kesimpulan yang akhirnya memilih dan memisahkan antara yang benar dengan yang
salah. Kebenaran akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam
menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman.”
Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al- Diniyyat
Selain potensi akal, sejak awal manusia telah dibekali dengan
fitrah beragama atau kecenderungan pada agama. Fitrah ini akan mendorong
manusia untuk mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki
kelebihan dan kekuatan yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Nantinya,
pengakuan dan pengabdian ini akan melahirkan berbagai macam bentuk ritual atau
upacara-upacara sakral yang merupakan wujud penyembahan manusia kepada
Tuhannya. Dalam pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan
dorongan yang bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan anugerah
dari Allah. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,’ (QS: ar-Rūm:30).
Dari ayat di atas bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Artinya Allah menciptakan manusia dengan
memberinya potensi beragama yaitu agama tauhid sehingga apabila ada manusia
yang tidak beragama tauhid maka itu tidak wajar. Dan bisa dipastikan bahwa
keadaan seperti itu adalah karena pengaruh dari luar diri manusia. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Bukhari menyatakan bahwa setiap anak yang lahir
itu sesuai dengan fitrah atau potensi beragama tauhid dari Allah, namun orang
tuanya (lingkungannya) yang menyebabkan anak tersebut keluar dari fitrah Allah
tersebut. Untuk mempertahankan fitrah tersebut, manusia juga dibekali dengan
potensi emosi (seperti telah dijelaskan di atas), sehingga dengan emosi yang ada
dalam dirinya manusia dapat merasakan bahwa Allah itu ada.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa: “Dan ingatlah ketika Tuhan-mu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka dan berfirman, ‘Bukankah Aku ini Tuhan mu?’ Mereka
menjawab, ‘Betul, Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi.” (QS:
al-A’raf;172). Dari ayat di atas bisa
kita simpulkan bahwa potensi beragama tauhid ini telah ada jauh sebelum manusia
lahir. Potensi positif ini harus dipupuk dan dibimbing melalui proses
pendidikan agar tidak menyimpang dari esensi potensi tersebut.
Dalam menjalani hidup di dunia ini
manusia memang membutuhkan agama. Selain potensi atau fitrah dari Allah
tersebut, Abuddin Nata mengatakan ada dua hal lain lagi mengapa manusia
membutuhkan agama. Manusia memang makhluk sempurna, namun meskipun memiliki
banyak potensi tetap saja manusia mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan.
Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih hebat dari
dirinya sendiri, yang dalam hal ini adalah Tuhan. Hal lain adalah tantangan
dalam hidup yang berupaya menjauhkan atau melencengkan manusia dari potensi
beragama ini. Tantangan ini bisa berasal dari dalam diri manusia, seperti
dorongan hawa nafsu dan bisikan setan ataupun dari luar diri manusia yaitu
lingkungan atau manusia lain yang ingin menjauhkannya dari agama tauhid.
Pengembangan Potensi Manusia
Keempat potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas
harus dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan dapat mencapai tujuan
yang sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara
terarah, bertahap dan berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan pendekatan. Jalaluddin mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan
dalam mengembangkan potensi manusia.
Pendekatan Filosofis
Menurut pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan
kesetiaan, mengabdi dan menyembah hanya kepada penciptanya. Dalam al- Qur’an
disebutkan; “Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada- Ku.” (QS: adz- Dzāriyat: 56), dengan begitu menurut filosofis al-Qur’an manusia
memang diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada penciptanya. Sesuai dengan
kakikat penciptaannya, maka keberadaan atau eksistensi manusia itu baru akan
berarti, bermakna dan bernilai apabila pola hidup manusia telah sesuai dengan blue-print yang sudah ditetapkan oleh
Tuhan. Pengembangan potensi manusia harus bisa mengarahkan manusia untuk
menjadi abdi Tuhannya dan mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kebenaran
ilahiyah yang hakiki.
Pendekatan Kronologis
Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai makhluk
evolutif. Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan berangsur.
Petumbuhan fisik dan mental manusia diawali dari proses konsepsi, pada tahap
selanjutnya menjadi janin, kemudian lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja,
dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi sesuai dengan tahapan-tahapan
pertumbuhan dan perkembangan yang berlaku. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati
tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi
segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS:
al-Mu’minūn:
12-14).
Tentang perubahan manusia dari tahap selanjutnya dijelaskan: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah
itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu sebagai seorang anak,
kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu menjadi dewasa, kemudian (dibiarkan
kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu.
(Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan agar
kamu mengetahui.”(QS: al- Mu’min: 67).
Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa manusia itu diciptakan
melalui berbagai tahap yang kronologis. Setiap tahap pertumbuhan dan
perkembangan ditandai dengan adanya ciri khas atau karakteristik yang berbeda pula. Kemampuan manusiapun mengalami
peningkatan sesuai
periode pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian maka pengembangan potensi
manusia juga harus mengikuti pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya.
Artinya pengembangan potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai tahapan-tahapan
tumbuh kembang manusia.
Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki
manusia diberikan Tuhan
untuk dapat dipergunakan dan
difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan
sesuatu yang tidak
bermanfaat. Semua ciptaan
Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi yang
diberikan kepada manusia. Dalam surat ad-Dukhān ayat 38 dijelaskan; “Dan
Kami tidak menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”
Dalam pendekatan ini pengembangan potensi manusia harus
dilaksanakan sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri. Misalnya,
dorongan seksual,harus dibina dan diarahkan untuk menjaga kelestarian jenis
manusia, bukan untukberbuat maksiat atau mencari kesenangan semata. Dorongan
naluri lain lainnya seperti makan, minum
dan mempertahankan diri
harus diarahkan untuk kelangsungan hidup, bukan mengumbar
nafsu. Maka perkataan yang benar adalah makan
untuk hidup bukan hidup untuk makan. Selanjutnya
pengembangan potensi fisik adalah untuk memaksimalkan fungsi fisik dan alat
inderawi manusia untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan hidupnya dan juga
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengembangan fungsi potensi akal dengan
benar akan menjadikan manusia mampu membedakan yang baik dari yang salah,
mengatur dan memberdayakan lingkungannya untuk kelangsungan hidupnya. Sementara
pengembangan fungsi potensi beragama akan membuat manusia benar-benar menjadi
makhluk yang setia kepada Tuhannya. Jalaluddin mengatakan bahwa melalui
pendekatan fungsional ini terlihat bahwa potensi yang dimiliki manusia
mempunyai fungsi pengabdian, fungsi kemanusiaan, fungsi individu dan fungsi
sebagai makhluk. Fungsi-fungsi tersebut memang sudah terpola secara baku. Maka
pengembangan potensi manusia tersebut tidak boleh menyimpan dari pola dasar
yang sudah ada, agar potensi yang dimiliki manusia betul-betul akan berfungsi
sebagaimana mestinya.
Pendekatan
Sosial
Dalam pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk sosial.
Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup bersama dalam
kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat). Sebagai makhluk sosial
manusia harus mampu mengembangkan potensinya untuk bisa berinteraksi di dalam
lingkungannya dan mampu memainkan peran dan fungsinya di tengah lingkungannya.
Dalam upaya mengembangkan potensi-potensinya manusia membutuhkan dukungan dan
bantuan dari pihak lain di luar dirinya untuk membimbing, mengarahkan, dan
menuntunnya agar pengembangan potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya
pengembangan potensi ini dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk kepada
pendidikan.
Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah
dalam upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju
kebaikan dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini
dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi.
Belajar yang dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi
juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat
ataupun melalui institusi sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa
mengembangkan seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan
formal, informal maupun pendidikan nonformal.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998.
Anas, Fathul, The Miracle
of Quranic Motivation Intisari 114 surat
Inspriratif
dalam
Al- Qur’an,Yogyakarta: Citra Risalah, 2010.
Desmita,
Psikologi Perkembangan, Bandung:
Rosda Karya, 2007.
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru
dan Anak Didik dalam Interaksi Educatif Suatu pendekatan
Psikologis, Jakarta: Rineka Cipta, 2010,
Drijarkara,
Percikan Filsafat, Semarang:
Kanisius, 1978.
Jalaluddin,
Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Langgulung,
Hasan, Azas-Azas Pendidikan Islam,
Jakarta: Pustaka Al- Husna, 2008.
Monk,
F. J, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:
Gajah Mada Press, 1984.
Mursyi, Muhammmad Munir, Al-Tarbiyat
al-Islamiyyat: Ushuluha wa Tathawwuruha
fil Bilad al-‘Arab, Kahirat: ‘Alam al-Kitab, 1986.
Mustaqim,
Psikologi Pendidikan, Surabaya:
Pustaka Pelajar, 2004.
Nata,
Abudin, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Qardhawi, Yusuf, Pendidikan dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar