Minggu, 20 Desember 2015

ARSITEKTUR TRADISIONAL BADUY DALAM DAN LUAR




ARSITEKTUR TRADISIONAL



BADUY DALAM DAN LUAR

memang jika dibilang Banten tak punya ‘gaya’ dalam seni bangunan. Setidaknya begitulah kira-kira harapan orang, ada sesuatu yang bisa menjadi ‘pembeda’ dari daerah lain. Beberapa bangunan modern di Serang, ibukota Provinsi Banten, kelihatannya juga sedang mencari ujud yang khas. Upaya keras para arsitek membangun jatidiri melalui rancang bangun fisik perlu mendapat penghargaan, kendati masih mengacu pada tipe bangunan yang lebih menonjolkan atap tumpang limasan dimana  arsitektur Masjid Agung di Banten Lama sebagai referensi. Oleh karenanya, apapun denah suatu bangunan, elemen atap hampir selalu seperti itu;  prototype  dunia Melayu, khususnya Jawa dan Bali. Lantas adakah sesuatu ‘yang lain dari biasanya’  yang dapat memberi kita ide referensial dan generatif untuk memberi sekedar ‘papan nama’ pada identitas budaya Banten? Adakah karya arsitektur khas Banten sebagai acuan bagi konstruksi bangunan modern yang dapat memberi tanda khusus di Provinsi Banten?
Agak sulit juga mencarinya jika kita tak mengenal budaya lokal. Beberapa struktur memang masih bisa ditemukan di pedesaan dan perkampungan Banten, dari pesisir utara sampai selatan atau dari dataran tinggi sebelah timur sampai ke dataran rendah di sebelah barat Banten. Entah itu berada pada ruang budaya penutur bahasa Jawa ataupun masyarakat yang berbahasa Sunda, hampir tidak pernah ditemukan suatu bangunan yang dapat merepresentasikan sebuah rancang bangun suatu peradaban besar. Kebanyakan dari bangunan itu bersifat semi permanen: rumah tinggal, tempat ibadah, balai pertemuan, lumbung padi serta saung huma, apriori, lebih bersifat rural. Lantas bagaimana kita dapat mengadopsi semua tipe bangunan bernuansa etnik itu ke dalam struktur besar dan masif, seperti untuk bangunan kantor atau lainnya? Bagaimana pula kita dapat meredisainnya menjadi karya arsitektur modern tetapi berkarakter lokal?
Agaknya tidak terlalu sulit juga jika kita memang berkehendak ke arah itu. Maka ketika referensi arsitektural berada dalam kelangkaan, ketika warisan budaya yang ada hanya menyisakan fragmen yang sulit direkonstruksi, apa yang ada dan terwarisi oleh masyarakat Banten, sesederhana apapun ujudnya, adalah sebuah tresor yang patut mendapat perhatian para arsitek. Maka Sula Nyanda mestinya bisa menjadi salah satu tresor itu.
Agaknya kita perlu berkunjung kembali ke Desa Kanekes, perkampungan warga Baduy yang selalu menarik minat pengunjung, tetapi luput memberi perhatian khusus kepada type budaya rumah tinggal mereka, yang biasa disebut Sula Nyanda. Karena fungsinya hanya rumah orang biasa, atau barangkali karena anggapan tak mewakili ‘great tradition’ dari suatu peradaban urban, tak sadar kita kehilangan kepekaan untuk mengadopsinya menjadi sesuatu yang unik dan khas bagi ‘bangun’ arsitektur Banten.
Agaknya perlu juga kita mulai berhitung sekarang. Jika benar istilah ‘Sula Nyanda’  dapat dimaknai sebagai “merunduk untuk menaungi”, bukankah itu juga dapat dijadikan dasar filosofis untuk sebuah rancang bangun struktur masif di pusat-pusat kota. Berdenah segi empat panjang dengan teras yang lebar, dinaungi oleh atap segi tiga yang diperhalus dengan kanopi menjorok ke bagian depan, Sula Nyanda dapat beralih fungsi, dari rumah tinggal biasa menjadi ‘mega beton’ dengan berbagai asesori yang memenuhi selera estetik dan tentu saja, simbolik.
Agaknya ada alasan, jika Taman Nasional Ujung Kulon telah mengadopsi Sula Nyanda menjadi sebuah Pusat Informasi Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah di Pulau Peucang dalam ukuran besar. Lantas apa yang sudah kita tampilkan kemarin dan sekarang, selain type bangunan beratap tumpang? Kemana lagi mencari referensi?
Agaknya, mungkin sudah seharusnya, kita memperhitungkan Sula Nyanda sebagai model seni bangunan khas daerah juga; modern atau super modern sekalipun, namun akarnya lahir dan tumbuh di bumi kita, Banten. 
Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Kabupaten Lebak, Banten. Tidak sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka.Itu sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan.
Kawasan Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu. Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilnya tentu tiang- tiang yang tidak sama tinggi.
Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor. Berikut ini adalah beberapa ciri daripada rumah-rumah adat suku Baduy yang terletak di pedalaman Kabupaten Lebak Propinsi Banten :
Motif Atap Rumah Suku Baduy Dalam
Atap rumah terbagi pada dua sisi kanan dan sisi kiri. Atap sebelah kiri di bangun lebih panjang di bandingkan atap sebelah kanan. Ini di maksudkan supaya satu sisi yang lebih panjang memberikan kehangatan yang lebih. Selain itu, juga untuk menambah ruangan yang bisa di pakai. Karena pasti anggota keluarga akan terus bertambah. Kemudian, bagian paling atas atau pucuk, pertemuan antara sisi kiri dan sisi kanan di buat cabik. Fungsinya untuk menahan air hujan yang turun. Selain untuk fungsi tadi, cabik ini juga merupakan lambang lingkaran hidup mereka.
Ciri khas berikutnya ialah, atap yang di pakai bukan seperti kebanyakan yang sering kita temui. Mereka tidak memakai genting. Rata-rata yang di pakai sebagai atap terbuat dari bahan yang sangat sederhana, biasanya dari ijuk atau daun kelapa yang di keringkan. Ini adalah bagian adat yang harus di patuhi. Bagian dari kepercayaan yang sangat mereka yakini. Hal ini berhubungan karena genting itu berbahan dari tanah. Artinya, kalau memakai atap dari genting, sama saja mengubur diri sendiri. Sedangkan tanah hanya di peruntukan untuk orang mati saja. Seperti peribahasa mereka “terletak antara dunia bawah – yaitu tanah - dan dunia atas – yaitu langit -. Karena rumah memiliki pangkat yang lebih tinggi, yaitu dunia atas, maka di larang di letakan lebih rendah dari tanah. Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.
Tanpa Jendela
Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin dilihat dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna rumah dikawasan Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar.
Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun untuk orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu (palupuh). Lubang dari palupuh ini memungkinkan masuknya udara dari kolong rumah.
Bagian Rumah Suku Baduy Dalam
Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah. Dapur pada rumah masyarakat Baduy berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksudkan agar api tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut goa. Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Rumah yang sangat sederhana adalah ciri khas masyarakat baduy. Menurut yang mereka yakini, tempat tinggal memiliki kekuatan netral. Dalam istilahnya “terletak antara dunia bawah dan dunia atas”. Kalau di perhatikan, rumah baduy pasti memiliki kolong dan tidak langsung menyentuh tanah. Semua rumah pasti di bangun memakai alas batu (umpak). Mereka pun percaya sepenuhnya, dengan membangunnya seperti itu, rumah mereka akan jauh lebih awet dan tahan lama.
Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan itu, ditengah deretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu sudah agak kabur karena digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung.
Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale(balai). Disebelah kiri balai ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisung). Sementara disebelah kanan balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (tokoh tertinggi orang Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan.
Demikian ulasan mengenai ciri-ciri rumah dari masyarakat Baduy di Lebak, Banten. Tentunya sobat penasaran jika tidak melihat seperti apa sebenarnya bentuk rumah-rumah adat ini. Namun setidaknya dari ulasan diatas ada sedikit gambaran mengenai bentuk rumah adat tersebut.
ARSITEKTUR BADUY DALAM
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggung

Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.

Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar