B.
Konsep
Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta.
Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap
apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana
saja pasti mempunyai nilai, maka nilai harus merupakan objek preferensi atau
penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong
dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber
nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling),
atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek.
Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire).
Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang
memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut
kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme
aksiologis.
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua
orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau
tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir
dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia
menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat
meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di
antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering
diucapkan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum).
Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu
ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer.
Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai
dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan
berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya.
Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato;
shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza
memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).
2. Nilai
itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah
obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita
mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan
atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya,
kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki
nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita?
Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional:
apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan
istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de
nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau
kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subyektif” jika
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan
penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme
atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek
atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal
dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai
memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat
diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu.
Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak
dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran,
keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai
entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa
nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten
sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis
mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban,
Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.
b) Subyektivisme
Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai,
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan
sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan
pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu
keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut
hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan
naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu
pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya;
nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis).
Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall,
Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku
sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah
sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras,
maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif
sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme
Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun
tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan.
Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley,
dan lain-lain.
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan
nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk yang semuanya tidak
faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore
tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja
secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun
bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan
sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika
positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat
emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat
digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan.
Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick,
Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang
saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat
selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum
et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula
dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena
nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang
dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini
pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme
nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan
nilai dari yang ada (al-mawjud).
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung pada sifat hakiki nilai itu
sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat
dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu
menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis
irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai
yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua
ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena
persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar