Minggu, 20 Desember 2015

kecemasan terhhadap matematika



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang masalah
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh setiap siswa sejak di bangku sekolah dasar sampai di tingkat sekolah menengah. Materi yang diajarkan selalu berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, bahkan ada beberapa materi diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Materi-materi dalam matematika disusun secara spiral artinya suatu materi dikembangkan dan diajarkan di setiap jenjang pendidikan kepada siswa dengan memperluas dan memperdalam isi sesuai dengan tingkat perkembangan dan pendidikan siswa. Materi matematika, satu dengan yang lain saling berkaitan, materi yang satu kadang-kadang merupakan prasyarat dari materi lain. Hudojo (1988:3) menyatakan bahwa mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta berdasarkan kepada pengalaman yang lalu. Di sisi lain matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit, dibenci dan ditakuti oleh sebagian besar siswa baik siswa sekolah dasar maupun siswa sekolah menengah. Hal ini dapat memicu kecemasan yang berlebihan didalam belajar matematika.
Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang baik penting dalam memahami matematika. Hal tersebut karena kecemasan tersebut dapat meningkat, bersifat subjektif pada setiap individu, dan mempengaruhi sulit atau tidaknya pemahaman. Ada siswa yang dapat dengan mudah memahami ketika menerima suatu penjelasan, tetapi ada pula siswa yang tidak. Jika siswa yang tidak mengerti tersebut merasa cemas maka mereka tidak akan ragu untuk berusaha lebih keras untuk memahami. Tetapi, kecemasan yang berlebihan juga berdampak buruk pada diri mereka karena dapat mengurangi efektivitas dari usaha yang mereka lakukan. Ketika kecemasan meningkat pada diri siswa maka siswa tersebut akan berusaha lebih keras, tetapi pemahaman mereka justru semakin memburuk yang berakibat kecemasan mereka justru semakin meningkat. Terjadi terus-menerus hingga terbentuk “lingkaran setan”. Hal tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek dan juga jangka panjang. Pengalaman tersebut dalam pelajaran matematika akan menjadi stimulus terhadap kecemasan. Oleh karena itulah siswa belajar secara parsial. Hal tersebut akan membentuk pengalaman interpersonal siswa. Kecemasan matematika banyak terjadi di kalangan siswa dan bahkan menjadi penentu bagi pandangan mereka terhadap matematika ke depannya.

1.2  Rumusan masalah
1. Apa yang  dimaksud dengan Psikologi Pendidikan?
2. Apa yang dimaksud dengan Psikologi Belajar?
3. Apa yang dimaksud dengan kesulitan belajar?
4. Apa saja yang menjadi faktor penyebab kesulitan dalam belajar?
5. Apa yang dimaksud dengan kecemasan matematika?
6. Seperti apa kemampuan koneksi matematis siswa itu?
7. Bagaimana solusi untuk mengatasi kecemasan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang Psikologi Pendidikan
2. Menjelaskan tentang Psikologi Belajar
3. Menjelaskan tentang kesulitan belajar
4. Menjelaskan faktor-faktor  penyebab kesulitan belajar
5. Menjelaskan tentang kecemasan matematika
6. Menjelaskan tentang kemampuan koneksi matematis
7. Menjelaskan tentang solusi untuk mengatasi kecemasan
1.4 Metodologi Penelitian
Penulisan makalah ini dilakukan dengan cara kajian pustaka melalui buku-buku sumber dan jurnal terkait, serta internet.


1.5 Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang masalah
1.2  Rumusan masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Metodologi Penelitian
1.5  Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1  Pengertian Psikologi Pendidikan
2.2  Pengertian Psikologi Belajar
2.3  Pengertian Kesulitan Belajar
2.4  Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
2.5  Kecemasan Matematika dan Kemampuan Koneksi Matematis
A.                 Pengertian Kecemasan
B.                 Gejala Kecemasan
C.                 Kecemasan Matematika
D.                 Kemampuan Koneksi Matematis
2.6  Solusi untuk Mengatasi Kecemasan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ISI

2.1  Pengertian Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan adalah merupakan cabang dari ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan. Dengan kata lain psikologi pendidikan adalah ilmu yang membahas segi-segi psikologi dalam lapangan pendidikan.
Dari sudut tingkah laku dan perbuatan manusia dalam segala situasi, maka psikologi pendidikan adalah studi ilmiah mengenai tingkah laku individu dalam situasi pendidikan.
Menurut Crow & Crow ( dalam Purwanto, 2008: 8), adalah bahwa psikologi pendidikan merupakan suatu ilmu yang berusaha menjelaskkan masalah-masalah belajar yang di alami individu dari sejak lahir sampai berusia lanjut, terutama yang menyangkut kondisi-kondisi yang menpengaruhi belajar.

2.2  Pengertian Psikologi Belajar
Psikologi belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari dua kata, yaitu, psikologi dan belajar. Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Sedangkan belajar itu sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas disini maksudnya serangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik, menuju ke perkembangan pribadi individu seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi belajar adalah sebuah disiplin psikologi yang berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana cara individu belajar atau melakukan pembelajaran.

2.3  Pengertian Kesulitan Belajar 
Kesulitan belajar (Learning Difficulty) adalah suatu kondisi dimana kompetensi atau prestasi yang dicapai tidak sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan. Kondisi yang demikian umumnya disebabkan oleh faktor biologis atau fisiologis, terutama berkenaan dengan kelainan fungsi otak yang lazim disebut sebagai kesulitan dalam belajar spesifik, serta faktor psikologis yaitu kesulitan belajar yang berkenaan dengan rendahnya motivasi dan minat belajar.
Kesulitan Belajar adalah hambatan/gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Hal ini disebabkan oleh gangguan di dalam sistem saraf pusat otak (gangguan neorubioligis) yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan berhitung. Anak-anak disekolah pada umumnya memiliki karakteristik individu yang berbeda, baik dari segi fisik, mental, intelektual, ataupun sosial-emosional. Oleh karena itu mereka juga akan mengalami persoalan belajarnya mesing-masing secara individu, dan akan mengalami berbagai jenis kesulitan belajar yang berbeda pula, sesuai dengan karakteristik dan potensinya masing-masing.
Ada beberapa kasus kesulitan dalam belajar yang termasuk dalam kategori ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abin Syamsudin M, yaitu : 1) Kasus kesulitan  dengan latar belakang kurangnya motivasi dan minat belajar. 2) Kasus kesulitan  yang berlatar belakang sikap negatif terhadap guru, pelajaran, dan situasi belajar. 3) Kasus kesulitan  dengan latar belakang kebiasaan belajar yang salah. 4) Kasus kesulitan dengan latar belakang ketidakserasian antara kondisi obyektif keragaman pribadinya dengan kondisi obyektif instrumental impuls dan lingkungannya.
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, di antaranya:
1.      Faktor Fisiologis
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan saraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem saraf dalam menerima, memproses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan.
2. Faktor Sosial
Faktor Sosial merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh hati.
3.      Faktor Kejiwaan
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar
4.      Faktor Intelektual
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat. Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SLTP yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SLTP. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan lebih baik.
5.      Faktor Kependidikan
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi seperti ditinggal saudara kandung tersayang ataupun karena faktor fisiologis seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab kesulitan tersebut.

2.5 Kecemasan Matematika dan Kemampuan Koneksi Matematis
A.Pengertian Kecemasan
“kecemasan didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang ditandai oleh adanya tekanan, ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari lingkungan”. (Arif Budi Wicaksono,2013:2)
B.Gejala Kecemasan
Menurut Dacey (2000) dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga komponen, yaitu:
1. Komponen psikologis, berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat terkejut.
2. Komponen fisiologis, berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan dari luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala Respiratori (pernafasan), gejala Gastrointertinal (pencernaan), gejala Urogenital (perkemihan dan kelamin).
3. Komponen sosial, sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur.
C. Kecemasan Matematika
“Kecemasan Matematika merupakan salah satu hambatan yang sangat serius dalam pendidikan, serta berkembang pada anakanak dan remaja ketika mereka berada dalam lingkungan sekolah (Warren Jr. et al., 2005). Kecemasan Matematika pada siswa bisa berdampak terhadap suasana tidak nyaman selama proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya, Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit, karena karakteristik Matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, serta penuh dengan lambang dan rumus itu yang membingungkan para siswa”. (Hedi Budiman,2014:63)
Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Tobias (Wahyudin, 2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang mengalami kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Ashcraft (2002: 1) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika cenderung menghindari situasi dimana mereka harus mempelajari dan mengerjakan matematika. Sedangkan Richardson dan Suinn (1972) menyatakan bahwa kecemasan matematika melibatkan perasaan tegang dan cemas yang mempengaruhi dengan berbagai cara ketika menyelesaikan soal matematika dalam kehidupan nyata dan akademik. Dalam The Revised Mathematics Anxiety Rating Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989) skala kecemasan dibagi dalam tiga kriteria, yaitu : kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap tes atau ujian matematika dan kecemasan terhadap tugas-tugas dan perhitungan numerikal matematika. Dari ketiga kriteria tersebut, gejala-gejala kecemasan matematika yang muncul dapat terdeteksi secara psikologis, fisiologis dan aktivitas sosial atau sikap dan tingkah lakunya. Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab kecemasan matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut : (1). Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)
Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief), kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma.
(2). Faktor lingkungan atau sosial
Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21). Faktor yang lain yaitu keluarga terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.
(3) Faktor intelektual
Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashcraft & Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecemasan matematika dan kemampuan verbal atau bakat serta Intelectual Quotion (IQ).
Guney Haciomeroglu (halaman 1) mengatakan bahwa “Mathematics anxiety is defined as feelings of tension and anxiety that interfere with the manipulation of numbers and the solving of mathematical problems in a wide variety of ordinary life and academic situations”. (Kecemasan matematika didefinisikan sebagai perasaan ketegangan dan kecemasan yang mengganggu manipulasi angka dan pemecahan masalah matematika dalam berbagai kehidupan biasa dan situasi akademik)
D. Kemampuan Koneksi Matematis
NCTM (1989) merumuskan bahwa koneksi matematis atau mathematical connections merupakan bagian penting yang harus mendapat penekanan di setiap jenjang pendidikan. Koneksi matematis terbagi dalam tiga macam yaitu koneksi antar topik matematis, koneksi dengan disiplin ilmu pengetahuan yang lain, dan koneksi dengan dunia nyata. NCTM juga menyebutkan tujuan siswa memiliki kemampuan koneksi matematis agar siswa mampu untuk:
1) Mengenali dan menggunakan koneksi antara gagasan-gagasan matematik; 2) Memahami bagaimana gagasan-gagasan matematik saling berhubungan dan berdasar pada satu sama lain untuk menghasilkan suatu keseluruhan yang koheren (padu);
3) Mengenali dan menerapkan matematika baik didalam maupun diluar konteks matematika.
Sedangkan tiga tujuan koneksi matematis di sekolah menurut NCTM (dalam Wahyuni, 2010:17) yaitu :
1) Memperluas wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi matematis, siswa diberi suatu materi yang bisa menjangkau ke berbagai aspek permasalahan baik disalam maupun diluar sekolah, sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi yang sedang dipelajari saja tetapi secara tidak langsung siswa memperoleh banyak pengetahuan yang pada akhirnya dapat menunjang peningkatan kualitas hasil belajar secara menyeluruh;
2) Memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang padu bukan materi yang berdiri sendiri;
3) Menyatakan relevansi dan manfaat baik disekolah maupun diluar sekolah.
Sumarmo (dalam Gordah, 2009:27) memberikan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat digunakan sebagai berikut :
1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur;
2) Memahami hubungan antar topik matematika;
3) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari;
4) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep;
5. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dan representasi yang ekuivalen;
6) Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik yang lain.
2.6 Solusi untuk Mengatasi Kecemasan
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para ahli untuk mengatasi kecemasan khususnya kecemasan matematika. Beberapa ahli menggunakan teknologi pencitraan otak untuk pertama kalinya terhadap orang yang mengalami kecemasan dalam mengerjakan soal matematika, para ilmuwan telah memperoleh pengetahuan baru bagaimana beberapa siswa mampu mengatasi ketakutan mereka dan berhasil dalam matematika.
Para peneliti dari University of Chicago menemukan hubungan yang kuat antara keberhasilan dalam mengerjakan soal matematika dengan aktivitas dalam jaringan area otak di lobus frontal dan parietal yang terlibat dalam mengontrol perhatian dan mengatur reaksi emosional negatif. Respon ini muncul ketika orang kesulitan dalam memecahkan masalah matematika.
Menurut Freedman ada 10 cara untuk mengatasi kecemasan matematika (Ten Ways To Reduce Math Anxiety), yaitu:
1. Overcome negative self-talk.
2. Ask questions.
3. Consider math a foreign language — it must be practiced.
4. Don’t rely on memorization to study mathematics.
5. READ your math text.
6. Study math according to YOUR LEARNING STYLE.
7. Get help the same day you don’t understand.
8. Be relaxed and comfortable while studying math.
9. “TALK” mathematics.
10. Develop responsibility for your own successes and failures. (Freedman, 2012)
Dari uraian pendapat di atas, beberapa hal ini mungkin dapat meminimalkan kecemasan matematika, yaitu:
1. Memberikan penjelasan rasional pada siswanya mengapa mereka harus belajar matematika;
2. Menanamkan rasa percaya diri terhadap siswa bahwa mereka bisa belajar matematika, guru dapat memberikan latihan-latihan soal yang relatif mudah sehingga mereka bisa mengerjakan soal-soal tersebut;
3. Menghilangkan prasangka negatif terhadap matematika, dengan cara memberikan contoh-contoh yang sederhana sampai dengan yang kompleks tentang kegunaan matematika;
4. Membelajarkan matematika dengan berbagai metode yang bisa mengakomodir berbagai model belajar siswa;
5. Tidak mengutamakan hafalan dalam pembelajaran matematika;
6. Pada saat pembelajaran matematika, jadikan kelas matematika menjadi kelas yang menyenangkan dan nyaman;
7. Pada saat bertemu dengan siswa di manapun, jangan segan-segan untuk menyisipkan pembicaraan yang menyangkut tentang pembelajaran matematika kepada mereka;
8. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada siswa untuk memutuskan kesuksesan mereka.

1 komentar:

  1. PokerStars Casino $100,000 BONUS NOW PLAYED in NJ
    PokerStars Casino in New Jersey is 군산 출장안마 a casino in New Jersey, and the operator expects 문경 출장마사지 to make the player will be able to make a bet on any of 영주 출장안마 the 대전광역 출장마사지 games they 고양 출장안마 play

    BalasHapus