BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang masalah
Matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang wajib ditempuh oleh setiap siswa sejak di bangku sekolah dasar
sampai di tingkat sekolah menengah. Materi yang diajarkan selalu berkembang
sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, bahkan ada beberapa materi diajarkan
di setiap jenjang pendidikan. Materi-materi dalam matematika disusun secara
spiral artinya suatu materi dikembangkan dan diajarkan di setiap jenjang
pendidikan kepada siswa dengan memperluas dan memperdalam isi sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pendidikan siswa. Materi matematika, satu dengan yang
lain saling berkaitan, materi yang satu kadang-kadang merupakan prasyarat dari materi
lain. Hudojo (1988:3) menyatakan bahwa mempelajari matematika haruslah bertahap
dan berurutan serta berdasarkan kepada pengalaman yang lalu. Di sisi lain
matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit, dibenci dan ditakuti
oleh sebagian besar siswa baik siswa sekolah dasar maupun siswa sekolah
menengah. Hal ini dapat memicu kecemasan yang berlebihan didalam belajar
matematika.
Kecemasan
adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang baik penting dalam
memahami matematika. Hal tersebut karena kecemasan tersebut dapat meningkat, bersifat
subjektif pada setiap individu, dan mempengaruhi sulit atau tidaknya pemahaman.
Ada siswa yang dapat dengan mudah memahami ketika menerima suatu penjelasan,
tetapi ada pula siswa yang tidak. Jika siswa yang tidak mengerti tersebut
merasa cemas maka mereka tidak akan ragu untuk berusaha lebih keras untuk
memahami. Tetapi, kecemasan yang berlebihan juga berdampak buruk pada diri
mereka karena dapat mengurangi efektivitas dari usaha yang mereka lakukan.
Ketika kecemasan meningkat pada diri siswa maka siswa tersebut akan berusaha
lebih keras, tetapi pemahaman mereka justru semakin memburuk yang berakibat
kecemasan mereka justru semakin meningkat. Terjadi terus-menerus hingga
terbentuk “lingkaran setan”. Hal tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek dan
juga jangka panjang. Pengalaman tersebut dalam pelajaran matematika akan
menjadi stimulus terhadap kecemasan. Oleh karena itulah siswa belajar secara
parsial. Hal tersebut akan membentuk pengalaman interpersonal siswa. Kecemasan
matematika banyak terjadi di kalangan siswa dan bahkan menjadi penentu bagi
pandangan mereka terhadap matematika ke depannya.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Psikologi
Pendidikan?
2.
Apa yang dimaksud dengan Psikologi Belajar?
3.
Apa yang dimaksud dengan kesulitan belajar?
4.
Apa saja yang menjadi faktor penyebab kesulitan dalam belajar?
5.
Apa yang dimaksud dengan kecemasan matematika?
6.
Seperti apa kemampuan koneksi matematis siswa itu?
7.
Bagaimana solusi untuk mengatasi kecemasan?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan tentang Psikologi Pendidikan
2.
Menjelaskan tentang Psikologi Belajar
3.
Menjelaskan tentang kesulitan belajar
4.
Menjelaskan faktor-faktor penyebab
kesulitan belajar
5.
Menjelaskan tentang kecemasan matematika
6.
Menjelaskan tentang kemampuan koneksi matematis
7.
Menjelaskan tentang solusi untuk mengatasi kecemasan
1.4
Metodologi Penelitian
Penulisan makalah ini dilakukan dengan cara kajian pustaka melalui buku-buku
sumber dan jurnal terkait, serta internet.
1.5
Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang masalah
1.2 Rumusan
masalah
1.3 Tujuan
Penulisan
1.4 Metodologi
Penelitian
1.5 Sistematika
Penulisan
BAB II ISI
2.1 Pengertian Psikologi Pendidikan
2.2 Pengertian Psikologi Belajar
2.3 Pengertian Kesulitan Belajar
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Siswa
2.5 Kecemasan
Matematika dan Kemampuan Koneksi Matematis
A.
Pengertian Kecemasan
B.
Gejala
Kecemasan
C.
Kecemasan Matematika
D.
Kemampuan
Koneksi Matematis
2.6 Solusi untuk
Mengatasi Kecemasan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan adalah merupakan
cabang dari ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami
pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan. Dengan kata lain psikologi
pendidikan adalah ilmu yang membahas segi-segi psikologi dalam lapangan
pendidikan.
Dari sudut tingkah laku dan perbuatan
manusia dalam segala situasi, maka psikologi pendidikan adalah studi ilmiah
mengenai tingkah laku individu dalam situasi pendidikan.
Menurut Crow & Crow ( dalam Purwanto, 2008: 8),
adalah bahwa psikologi pendidikan merupakan suatu ilmu yang berusaha
menjelaskkan masalah-masalah belajar yang di alami
individu dari sejak lahir sampai berusia lanjut,
terutama yang
menyangkut kondisi-kondisi yang menpengaruhi belajar.
2.2 Pengertian Psikologi Belajar
Psikologi belajar adalah sebuah frase yang terdiri
dari dua kata, yaitu, psikologi dan belajar. Psikologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu psyche yang berarti
jiwa dan logos yang berarti ilmu.
Jadi, secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa.
Sedangkan belajar itu sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan
dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan
lingkungan sekitarnya. Aktivitas disini maksudnya serangkaian kegiatan jiwa
raga, psikofisik, menuju ke perkembangan pribadi individu seutuhnya, yang
menyangkut unsur cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
psikologi belajar adalah sebuah disiplin psikologi yang berisi teori-teori
psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana cara individu belajar
atau melakukan pembelajaran.
2.3 Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar (Learning
Difficulty) adalah suatu kondisi dimana kompetensi atau prestasi yang dicapai tidak
sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan. Kondisi yang demikian
umumnya disebabkan oleh faktor biologis atau fisiologis, terutama berkenaan
dengan kelainan fungsi otak yang lazim disebut sebagai kesulitan dalam belajar
spesifik, serta faktor psikologis yaitu kesulitan belajar yang berkenaan dengan rendahnya motivasi dan minat belajar.
Kesulitan Belajar adalah hambatan/gangguan belajar pada anak dan
remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf
intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Hal ini disebabkan oleh gangguan di dalam sistem saraf pusat
otak (gangguan neorubioligis) yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan
seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan
berhitung. Anak-anak disekolah pada umumnya memiliki karakteristik
individu yang berbeda, baik dari segi fisik, mental, intelektual, ataupun sosial-emosional.
Oleh karena itu mereka juga akan mengalami persoalan belajarnya mesing-masing
secara individu, dan akan mengalami berbagai jenis kesulitan belajar yang
berbeda pula, sesuai dengan karakteristik dan potensinya masing-masing.
Ada
beberapa kasus kesulitan dalam belajar yang termasuk dalam kategori ini, sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Abin Syamsudin M, yaitu : 1) Kasus kesulitan dengan latar belakang kurangnya motivasi dan minat belajar.
2) Kasus kesulitan yang berlatar
belakang sikap negatif terhadap guru, pelajaran, dan situasi belajar. 3) Kasus
kesulitan dengan latar belakang kebiasaan belajar
yang salah. 4) Kasus kesulitan dengan latar
belakang ketidakserasian antara kondisi obyektif keragaman pribadinya dengan
kondisi obyektif instrumental impuls dan lingkungannya.
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Para
ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan
beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, di antaranya:
1.
Faktor Fisiologis
Faktor-faktor
yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang
berfungsinya otak, susunan saraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru
harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah
kesiapan otak dan sistem saraf dalam menerima, memproses, menyimpan, ataupun
memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan.
2. Faktor Sosial
Faktor
Sosial merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat
sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan
kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan
masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa
faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan
keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk
belajar sepenuh hati.
3.
Faktor Kejiwaan
Faktor-faktor
yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang
mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh.
Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia
selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa
tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan
contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar
4.
Faktor Intelektual
faktor-faktor
yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang
sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini
bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat
sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada
yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit
membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor
penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu, hal yang
perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki pengetahuan
prasyarat. Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SLTP yang tidak
dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu,
tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan
prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SLTP. Untuk menghindari hal
tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya
menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari
materi baru dengan lebih baik.
5.
Faktor Kependidikan
Faktor-faktor
yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum
mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa,
guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang
membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah
memeriksa pekerjaan siswa, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan
dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasarkan
penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya
beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses
pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga
mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka.
Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu
siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu
diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor
emosi seperti ditinggal saudara kandung tersayang ataupun karena faktor
fisiologis seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu
mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha untuk
mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat
tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab kesulitan tersebut.
2.5
Kecemasan Matematika dan Kemampuan Koneksi Matematis
A.Pengertian Kecemasan
“kecemasan didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang
ditandai oleh adanya tekanan, ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari
lingkungan”. (Arif Budi
Wicaksono,2013:2)
B.Gejala Kecemasan
Menurut Dacey (2000) dalam mengenali gejala kecemasan
dapat ditinjau melalui tiga komponen, yaitu:
1. Komponen
psikologis, berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat
terkejut.
2. Komponen
fisiologis, berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan
darah meninggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan dari
luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah,
gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala Respiratori
(pernafasan), gejala Gastrointertinal (pencernaan), gejala Urogenital (perkemihan
dan kelamin).
3. Komponen sosial, sebuah perilaku yang
ditunjukkan oleh individu di lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa tingkah
laku (sikap) dan gangguan tidur.
C.
Kecemasan Matematika
“Kecemasan
Matematika merupakan salah satu hambatan yang sangat serius dalam pendidikan,
serta berkembang pada anakanak dan remaja ketika mereka berada dalam lingkungan
sekolah (Warren Jr. et al., 2005). Kecemasan Matematika pada siswa bisa
berdampak terhadap suasana tidak nyaman selama proses pembelajaran berlangsung.
Akibatnya, Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit, karena
karakteristik Matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, serta penuh
dengan lambang dan rumus itu yang membingungkan para siswa”. (Hedi Budiman,2014:63)
Taylor
(1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan
merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah
atau tidak adanya rasa aman. Tobias (Wahyudin, 2010:7) mendefinisikan kecemasan
matematika sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang mencampuri
manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis dalam beragam
situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang mengalami
kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa
mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Ashcraft
(2002: 1) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan,
cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami
kecemasan matematika cenderung menghindari situasi dimana mereka harus
mempelajari dan mengerjakan matematika. Sedangkan Richardson dan Suinn (1972)
menyatakan bahwa kecemasan matematika melibatkan perasaan tegang dan cemas yang
mempengaruhi dengan berbagai cara ketika menyelesaikan soal matematika dalam
kehidupan nyata dan akademik. Dalam The Revised Mathematics Anxiety Rating
Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989) skala
kecemasan dibagi dalam tiga kriteria, yaitu : kecemasan terhadap pembelajaran
matematika, kecemasan terhadap tes atau ujian matematika dan kecemasan terhadap
tugas-tugas dan perhitungan numerikal matematika. Dari ketiga kriteria
tersebut, gejala-gejala kecemasan matematika yang muncul dapat terdeteksi
secara psikologis, fisiologis dan aktivitas sosial atau sikap dan tingkah
lakunya. Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab
kecemasan matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sebagai
berikut : (1). Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)
Misalnya
perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief),
kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa
(expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional
seperti pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika
yang menimbulkan trauma.
(2). Faktor lingkungan atau sosial
Misalnya
kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang
diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa
takut dan cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para
guru matematika dapat terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21).
Faktor yang lain yaitu keluarga terutama orang tua siswa yang terkadang
memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam matematika karena matematika
dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.
(3)
Faktor intelektual
Faktor
intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah
pada bakat dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ashcraft & Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada
korelasi antara kecemasan matematika dan kemampuan verbal atau bakat serta
Intelectual Quotion (IQ).
Guney Haciomeroglu (halaman 1) mengatakan bahwa “Mathematics anxiety is
defined as feelings of tension and anxiety that interfere with the manipulation
of numbers and the solving of mathematical problems in a wide variety of
ordinary life and academic situations”. (Kecemasan matematika
didefinisikan sebagai perasaan ketegangan dan kecemasan yang mengganggu
manipulasi angka dan pemecahan masalah matematika dalam berbagai kehidupan
biasa dan situasi akademik)
D. Kemampuan
Koneksi Matematis
NCTM (1989) merumuskan bahwa koneksi matematis atau
mathematical connections merupakan bagian penting yang harus mendapat penekanan
di setiap jenjang pendidikan. Koneksi matematis terbagi dalam tiga macam yaitu
koneksi antar topik matematis, koneksi dengan disiplin ilmu pengetahuan yang
lain, dan koneksi dengan dunia nyata. NCTM juga menyebutkan tujuan siswa
memiliki kemampuan koneksi matematis agar siswa mampu untuk:
1) Mengenali dan
menggunakan koneksi antara gagasan-gagasan matematik; 2) Memahami bagaimana
gagasan-gagasan matematik saling berhubungan dan berdasar pada satu sama lain
untuk menghasilkan suatu keseluruhan yang koheren (padu);
3) Mengenali dan
menerapkan matematika baik didalam maupun diluar konteks matematika.
Sedangkan tiga tujuan koneksi matematis di sekolah
menurut NCTM (dalam Wahyuni, 2010:17) yaitu :
1) Memperluas
wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi matematis, siswa diberi suatu materi
yang bisa menjangkau ke berbagai aspek permasalahan baik disalam maupun diluar
sekolah, sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi
yang sedang dipelajari saja tetapi secara tidak langsung siswa memperoleh
banyak pengetahuan yang pada akhirnya dapat menunjang peningkatan kualitas hasil
belajar secara menyeluruh;
2) Memandang
matematika sebagai suatu keseluruhan yang padu bukan materi yang berdiri
sendiri;
3) Menyatakan
relevansi dan manfaat baik disekolah maupun diluar sekolah.
Sumarmo (dalam
Gordah, 2009:27) memberikan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat
digunakan sebagai berikut :
1) Mencari
hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur;
2) Memahami hubungan
antar topik matematika;
3) Menerapkan
matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari;
4) Memahami representasi
ekuivalen suatu konsep;
5. Mencari
hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dan representasi yang ekuivalen;
6) Menerapkan hubungan antar topik
matematika dan antara topik matematika dengan topik yang lain.
2.6 Solusi
untuk Mengatasi Kecemasan
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para ahli
untuk mengatasi kecemasan khususnya
kecemasan matematika. Beberapa ahli menggunakan teknologi pencitraan otak untuk pertama kalinya terhadap orang yang
mengalami kecemasan dalam mengerjakan soal matematika, para ilmuwan telah memperoleh pengetahuan baru
bagaimana beberapa siswa mampu
mengatasi ketakutan mereka dan berhasil dalam matematika.
Para peneliti dari University of Chicago menemukan
hubungan yang kuat antara keberhasilan
dalam mengerjakan soal matematika dengan aktivitas dalam jaringan area otak di lobus frontal dan parietal yang
terlibat dalam mengontrol perhatian dan mengatur reaksi emosional negatif. Respon ini muncul ketika orang kesulitan dalam
memecahkan masalah matematika.
Menurut Freedman ada 10 cara untuk mengatasi kecemasan
matematika (Ten Ways To Reduce
Math Anxiety), yaitu:
1. Overcome
negative self-talk.
2.
Ask questions.
3.
Consider math a foreign language — it must be practiced.
4.
Don’t rely on memorization to study mathematics.
5.
READ your math text.
6.
Study math according to YOUR LEARNING STYLE.
7.
Get help the same day you don’t understand.
8.
Be relaxed and comfortable while studying math.
9.
“TALK” mathematics.
10.
Develop responsibility for your own successes and failures. (Freedman, 2012)
Dari uraian pendapat di atas, beberapa hal ini mungkin
dapat meminimalkan kecemasan matematika, yaitu:
1. Memberikan
penjelasan rasional pada siswanya mengapa mereka harus belajar matematika;
2. Menanamkan rasa
percaya diri terhadap siswa bahwa mereka bisa belajar matematika, guru dapat
memberikan latihan-latihan soal yang relatif mudah sehingga mereka bisa mengerjakan
soal-soal tersebut;
3. Menghilangkan
prasangka negatif terhadap matematika, dengan cara memberikan contoh-contoh yang
sederhana sampai dengan yang kompleks tentang kegunaan matematika;
4. Membelajarkan
matematika dengan berbagai metode yang bisa mengakomodir berbagai model belajar
siswa;
5. Tidak
mengutamakan hafalan dalam pembelajaran matematika;
6. Pada saat
pembelajaran matematika, jadikan kelas matematika menjadi kelas yang menyenangkan
dan nyaman;
7. Pada saat bertemu
dengan siswa di manapun, jangan segan-segan untuk menyisipkan pembicaraan yang
menyangkut tentang pembelajaran matematika kepada mereka;
8. Menanamkan rasa
tanggung jawab kepada siswa untuk memutuskan kesuksesan mereka.
PokerStars Casino $100,000 BONUS NOW PLAYED in NJ
BalasHapusPokerStars Casino in New Jersey is 군산 출장안마 a casino in New Jersey, and the operator expects 문경 출장마사지 to make the player will be able to make a bet on any of 영주 출장안마 the 대전광역 출장마사지 games they 고양 출장안마 play