2.1 Tokoh-tokoh Eksistensialisme
- Soren Aabye Kiekegaard
Søren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5
Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat
dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf,
tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah
agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika dihadapkan dengan
pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang
digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi
eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan
menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan
mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama
samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar
diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari
posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard
"sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide
pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1)
Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang
yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi
kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputus asaan, dan ketakutan.
Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia
mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial
termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam
hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan
"wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai
pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik.
Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel
yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk
filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah
konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara
mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang
kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama
yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit,
karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard
manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai
"aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam
sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk
menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak
menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan
obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)
Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis
tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi
dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu
estetis, etis, dan religius.
·
Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia
hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia
dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut
terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu.
Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman
yang menentukan.
·
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia,
maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia
tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan
situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk
menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan
(etis).
·
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan
hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia
bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak
masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius
hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
3)
Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara
pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan
manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas
akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati
makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa
dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu
loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil
langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama
Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama
Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila
seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran
atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga
salah secara mutlak.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia
bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak
dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup
saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan
apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
- Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang
mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia
harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan
mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena
dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya
sendiri.
- Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada
dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan
dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan
transendensi.
- Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September
1889 –meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal
Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas
fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting
Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia,
baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang
berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan
mereka.
- Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni
1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah
seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran
eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu.
Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah
kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun
Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah
sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000
orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir.
Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and
Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk
membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu
mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang
jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel
semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism
(1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan
kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir.
Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas
tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan.
Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil
kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak
yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai
dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh
karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya
sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah
ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi".
Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus
bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi
pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah
suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan
bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan
subyektifitas manusia.
2) Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan
L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya
monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada
dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a) L'etre-en-Soi (being in itself/ada
dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya.
L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak
negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan
amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai
kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti
ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari
sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini
untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu
yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka
bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik
semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b) L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya
dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan
dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung
jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak
menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran
ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan
ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3) Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang
terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai
kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat
keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri,
teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar
mengenai diri sendiri.
4) Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep
kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan
perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya
setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini
menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi
rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan
saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan,
maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia
dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada
sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan
masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark
telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan
pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang
kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil
meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian,
Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat,
karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka
persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian,
tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti
soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan
untuk masa kini.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia,
manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur
dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada
dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar